Oleh: Amrizarois Ismail*
Presiden Prabowo akhirnya bersuara menyikapi vonis ringan Harvey Moeis salah satu tersangka kasus korupsi timah ilegal melalui sindiranya dalam sebuah pidato di acaara Musrenbangnas Pelaksanaan RPJMN 2025-2029 di Gedung Bappenas, Jakarta, Senin 30 Desember 2024 lalu. Nampaknya desakan publik khususnya para netizen pegiat media sosial kembali ampuh menggelitiki telinga Bapak Presiden Republik Indonesia ke-8 tersebut, seakan memperkuat frasa “No Viral, No Justice”. Beberapa tahun terakhir, frasa tersebut semakin sering terdengar di ruang publik Indonesia. Fenomena ini mencerminkan kenyataan pahit bahwa keadilan sering kali baru bisa diwujudkan setelah sebuah kasus menjadi viral di media sosial. Fenomena ini mengingatkan kita pada fungsi media sosial sebagai alat yang dapat mempercepat pengungkapan fakta, sekaligus menciptakan tekanan publik terhadap institusi terkait untuk bertindak.
Sebagai contoh, kasus Mario Dandi yang pernah booming pada 2023 lalu, polemik penganiayaan terhadap seorang pemuda menjadi perhatian publik luas setelah rekaman video kejadian tersebut tersebar di media sosial pada Februari 2023. Viralitas kasus ini menimbulkan desakan besar dari masyarakat sehingga proses hukum dapat berjalan lebih cepat dan transparan, bahkan kasus ini juga menyasar penelusuran harta kekayaan keluarga ayah Mario Dandi yakni Rafael Alun Trisambodo yang dinilai tidak wajar oleh publik netizen yang akhirnya terbukti adalah hasil suap atau gratifikasi dipengadilan tipikor.
Lebih lanjut, kasus kekerasan yang menewaskan seorang perempuan bernama Vina Dewi Arsita (Vina) dan seorang pemuda bernama Muhamad Rizky Rudiana (Eki) di Cirebon Jawa Barat pada Agustus 2016, kembali mencuat setelah adaptasi film bergenre horor yang mengangkat tragedi ini viral di media sosial pada oktober 2024 lalu. Keduanya adalah korban kekerasan geng motor yang sebelumnya belum mendapatkan penanganan hukum serius. Tekanan publik setelah viralnya film tersebut mendorong aparat penegak hukum untuk membuka kembali penyelidikan kasus ini, yang akhirnya menghasilkan tindakan hukum terhadap para pelaku. Ada pula kasus pelajar bernama Gamma di Semarang, yang ditembak oleh seorang oknum polisi pada September 2024. Kejadian tersebut terungkap luas setelah unggahan video dari saksi mata viral di platform media sosial, mendorong investigasi menyeluruh dan langkah hukum terhadap pelaku, dan akhirnya menyeret pejabat Polrestabes semarang karena dianggap menyalahi wewenang dan fakta pengungkapan kasus. Tentu, selain kasus kriminal tersebut, juga banyak kasus yang bernuansa korupsi dan politik yang berhasil jadi perhatian luas karena hype di media sosial oleh kepedulian nalar kritis para natizen.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa suara individu dapat menjadi pemicu gerakan besar melalui kekuatan “virality”. Media sosial telah menjadi arena baru di mana isu-isu yang selama ini terpendam dapat diangkat ke permukaan untuk mendapat perhatian yang layak.
Hyperreality: Antara Realitas dan Representasi
Namun, fenomena ini tidak bisa dipandang hanya dari sisi keadilan sosial. Kita perlu melihatnya dalam konteks yang lebih luas, yaitu gejala hyperreality—sebuah kondisi di mana batas antara realitas dan representasi kabur. Dalam hyperreality, yang nyata bukan lagi realitas itu sendiri, melainkan bagaimana realitas direpresentasikan, terutama melalui media. Inilah yang terjadi saat kasus-kasus diangkat melalui media sosial; mereka menjadi sorotan bukan hanya karena isunya, tetapi juga karena bagaimana isu tersebut dikemas untuk memicu respons emosional masyarakat.
Dalam perspektif Jean Baudrillard, hyperreality merupakan kondisi di mana representasi menggantikan realitas itu sendiri. Baudrillard (1994) menyebut bahwa dalam era simulasi, masyarakat lebih terhubung dengan citra dan simbol daripada kenyataan. Fenomena media sosial mencerminkan hal ini, di mana isu-isu keadilan tidak hanya diukur dari substansi masalah, tetapi juga dari bagaimana isu tersebut dikemas.
Selain itu, teori partisipasi publik dari Habermas (1984) relevan untuk memahami bagaimana media sosial berfungsi sebagai ruang publik modern. Habermas menekankan pentingnya diskusi rasional dalam ruang publik untuk mencapai konsensus. Namun, dalam praktiknya, media sosial sering kali memfasilitasi emosi dan polarisasi yang dapat menghambat diskusi rasional tersebut.
Di sisi lain, konsep literasi media yang dikemukakan oleh Renee Hobbs (2011) menekankan pentingnya kemampuan masyarakat untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi informasi. Literasi media menjadi kunci dalam menghadapi dampak negatif hyperreality, terutama untuk memisahkan fakta dari manipulasi.
Bagaikan pisau bermata dua, fenomena hyperreality di era media sosial tidak lepas dari dua sisi positif negatif. Dilihat dari sisi positif, media sosial membuka ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Siapa saja dapat mengunggah konten, mengungkapkan pendapat, dan menyuarakan isu-isu yang mereka anggap penting. Hal ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memainkan peran sebagai watchdog yang membantu memantau kinerja institusi dan mendorong terjadinya perubahan sosial.
Namun, sisi negatifnya tidak bisa diabaikan. Konten yang viral tidak selalu akurat atau bermutu. Sering kali, fakta digeser demi menghasilkan narasi yang lebih dramatis. Ini membuka peluang manipulasi informasi yang dapat menciptakan bias, salah paham, atau bahkan merugikan individu yang menjadi subjek viralitas tersebut. Selain itu, tidak semua isu yang penting berhasil mendapat perhatian karena algoritma media sosial cenderung memprioritaskan konten yang sensasional daripada yang substansial.
Hyperreality Dulu dan Kini
Fenomena hyperreality bukanlah sesuatu yang sepenuhnya baru. Di era sebelum munculnya media sosial, televisi dan radio menjadi medium utama yang membentuk persepsi masyarakat. Namun, bentuk hyperreality pada masa itu bersifat satu arah. Penonton dan pendengar hanya menjadi konsumen pasif dari informasi yang disajikan oleh media. Partisipasi masyarakat terbatas pada opini di ruang privat tanpa akses luas untuk menyuarakan pandangan secara publik.
Sebaliknya, hyperreality di era media sosial menghadirkan dimensi baru. Platform seperti Twitter, TikTok, dan Facebook memungkinkan masyarakat menjadi produsen konten sekaligus konsumen. Mereka dapat merekam, mengunggah, dan menyebarkan informasi secara real-time. Fenomena ini menciptakan model komunikasi yang lebih interaktif, di mana masyarakat memiliki peran besar dalam menentukan isu apa yang layak mendapat perhatian.
Merebut Keadilan Sosial dengan Hyperreality
Dengan segala dinamikanya, hyperreality era media sosial membawa peluang besar untuk perubahan positif. Masyarakat kini memiliki alat untuk menjadi bagian dari sistem check and balance terhadap kekuasaan dan institusi. Namun, peluang ini hanya dapat dimanfaatkan dengan baik jika masyarakat terus meningkatkan literasi digital, minat belajar, nalar kritis, serta kepedulian besar terhadap nasib Bangsa.
Kasus-kasus besar seperti korupsi tambang timah ilegal yang melibatkan Harvey Mois dan kawan-kawan menunjukkan bagaimana hyperreality dapat dimanfaatkan untuk mendesak keadilan yang lebih tegas. Kasus ini mengungkap kerugian negara hingga 300 triliun rupiah, sementara pelaku hanya dijatuhi sanksi 6,5 tahun penjara dan denda yang jauh lebih kecil dibandingkan besarnya kerugian tersebut. Dampak korupsi ini juga sangat merusak lingkungan, menciptakan kerusakan ekosistem yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih. Dengan tekanan yang kuat melalui media sosial, masyarakat dapat terus mendorong penyelesaian kasus ini secara adil. Hal ini menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam menggunakan media sosial sebagai alat untuk memperjuangkan keadilan yang inklusif dan berkeadilan. Selain kasus itu, masih juga ada kasus konflik lingkungan lainya, salah satunya adalah konflik pulau Rempang yang juga perlu didorong advokasinya paling tidak melalui potensi media sosial dan hyperrealitynya.
Hyperreality bukan hanya sebuah fenomena, melainkan sebuah peluang untuk memberdayakan masyarakat dalam mendorong perubahan besar di negeri ini. Melalui pendidikan yang baik dan pemahaman yang mendalam terhadap literasi media, kita dapat menjadikan hyperreality sebagai jembatan menuju keadilan yang lebih inklusif, bukan sekadar alat untuk mengejar viralitas semata. Sudah saatnya kita memaknai teknologi sebagai medium kolaborasi yang mendorong perbaikan sosial.
Daftar Pustaka
- CNBC Indonesia.com. (2024). Prabowo SInggung Kasus 300 T Harvey Moeis: Vonisnya Ya 50 Tahun!. https://www.cnbcindonesia.com/news/20241230160213-8-599589/prabowo-singgung-kasus-300-t-harvey-moeis-vonisnya-ya-50-tahun diakses pada 31 Desember 2024
- Baudrillard, J. (1994). Simulacra and Simulation. Ann Arbor: University of Michigan Press.
- Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action, Volume 1: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.
- Hobbs, R. (2011). Digital and Media Literacy: Connecting Culture and Classroom. Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
- Shirky, C. (2008). Here Comes Everybody: The Power of Organizing Without Organizations. New York: Penguin Press.
- Van Dijck, J. (2013). The Culture of Connectivity: A Critical History of Social Media. Oxford: Oxford University Press.
*Penulis merupakan Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan (RIL) Soegijapranata Catholic Universiy (SCU), Ketua Griya Riset Indonesia.